"Agama-Agama Lokal"
Dosen pembimbing: Siti Nadroh, MA
Disusun Oleh:
Muchammad
Edy Irawan 11140321000013
Muhammad
Irfan Maulana 11140321000061
Siti Syarah 11140321000045
JURUSAN PERBANDINGAN
AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATUGHHGLLAH
JAKARTA 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Keberagaman suku bangsa dan agama di
Indonesia adalah sumber kekayaanyang tidak ternilai harganya. Sebelum masuknya
agama-agama besar ke Indonesia ternyata di Indonesia sendiri telah ada agama
yang menjadi nilai luhur yang di pedomani dan di ikuti oleh para pengikutnya
dan terbukti mampu mendorong pengikutnya menuju kehidupan yang lebih baik dan
ternyata juga ajarannya mampu menggiring para pengikutnya mengikuti
perkembangan jaman sehingga para pengikutnya mampu hidup dan bersaing secara
sosial dan ekonomi dengan para pemeluk agama besar lainnya. Indonesia adalah
sebuah negara yang sangat kaya akan keberadaan suku bangsa. Secara horizontal
dalam struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya
kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan agama, adat dan
perbedaan kedaerahan (Nasikun, 1993). Salah satu unsur dari keberagaman bangsa
Indonesia adalah keberagaman keagamaan.
Aliran kepercayaan merupakan suatu
ajaran pandangan hidup berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak
bersandarkan sepenuhnya kepada ajaran agama-agama yang ada. Dengan kata lain,
dalam kehidupan moralnya maupun dalam rangka "menyembah kepada Tuhan"
penganut paham "aliran”, dan salah satunya adalah agama lokal sunda
wiwitan.
Untuk itu, pemakalah mengajak pembaca
untuk menyisir sejarah dan asal-usul kepercayaan suku-suku local suku bati,
suku kaili, dan suku kulawi yang telah berkembang di Indonesia.
BAB II
PEMBHASAN
2.1
Suku Batin
Mengenal Sejarah dan Kebudayaan Suku
Batin. Suku Batin merupakan salah satu suku Melayu yang berasal dari
provinsi Jambi di bagian pedalaman pulau Sumatera, Indonesia.
Berasal dari sebelah barat pegunungan Bukit Barisan (Sumatera Barat). Mereka
menggunakan tutur bahasa Melayu dengan dialek Jambi. Tetapi mempunyai
logat seperti bahasa Minang. Kebudayaan orang Batin merupakan perpaduan
unsur-unsur kebudayaan Minangkabau dan Melayu Jambi. orang Batin suka hidup
berpindah-pindah dan berjiwa gotong royong.
Upacara Suku Batin
Upacara Besale merupakan sebuah ritual upacara
pengobatan berupa rangkaian tarian yang mengunakan totem berupa rumah-rumahan
yang dibuat dari daun pepohonan hutan. tujuan dari ritual ini adalah untuk
mengundang roh para leluhur agar bisa memberikan pengobatan terhadap
keturunannya yang menderita suatu penyakit. ritual ini dilakukan oleh komunitas
orang batin
A. Asal usul
Terdapat dua pendapat yang
mengungkapkan mengenai asal usul dari suku Batin, yaitu ada yang mengatakan
berasal dari suku Kerinici.
·
Pendapat pertama
Pendapat pertama didasarkan pada
cerita rakyat setempat, nenek moyang orang Batin adalah suku bangsa
Kerinci yang pindah dari kaki Gunung Kerinci ke daerah tempat tinggal mereka
saat ini.
·
Pendapat kedua
Pendapat lain dari suku Minangkabau
yang didasarkan pada beberapa hal, di antaranya adalah dari segi aksen, logat
dan kemiripan kata dalam bahasa ketiga suku tersebut. Masyarakat Batin termasuk
dalam ketegori proto-Melayu. Kebudayaan Minangkabau sangat mempengaruhi suku
Kerinci ke daerah tempat tinggal mereka. Kebudayaan Minangkabau yang sangat
mempengaruhi suku Kerinci tersebut, juga terlihat pada kehidupan orang Batin.
B.
Wilayah pemukiman
Suku Batin mendiami sekitar
Pegunungan Bukit Barisan, Kabupaten Sarolangun Bangko dan Bungo Tebo, Propinsi
Jambi. Wilayahnya meliputi:
1. Kecamatan
Jangkat
2. Muara
Siau
3. Bangko
4. Tabir
5. Muara
Bungo.
Masyarakat Batin mulai menempati
tempat-tempat tersebut diperkirakan sekitar abad pertama Masehi.
C.
Bahasa
Dalam berbahasa suku Batin termasuk
bagian dari bahasa Melayu Jambi, tetapi dialek bahasa Batin banyak dipengaruhi
oleh bahasa Minangkabau.
D.
Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Batin
adalah matrilineal (garis keturunan ditarik dari pihak ibu). Dalam kehidupan
sehari-hari, orang Batin lebih dekat dengan kerabat pihak ibu daripada kerabat
pihak ayah. Tetapi laki-laki tetap berperan sebagai kepala keluarga dalam rumah
tangganya. Di samping sistem pendidikan umum yang dijalankan di
sekolah-sekolah, juga terdapat pendidikan dari madrasah-madrasah.
E.
Sistem pemerintahan
Untuk sistem pemerintahan, suku
Batin berawal dari sebuah dusun yang dihuni oleh sejumlah keluarga luas yang
disebut piak. Setiap piak dikepalai oleh seorang ninik mamak. Pemimpin dusun
yang bergelar rio diangkat berdasarkan hasil musyawarah dari seluruh ninik
mamak. Dalam menjalankan kepemimpinannya, rio didampingi oleh para ninik mamak.
Dengan demikian, segala keputusan rio haruslah diambil dengan persetujuan para
ninik mamak dari piak yang ada di dusun tersebut.
F.
Rumah adat
Bangunan tempat tinggal atau rumah
adat suku Batin disebut Kajang Lako. Persiapan pembangunan sebuah rumah baru
dimulai pada saat lahirnya seorang puteri dalam keluarga tersebut. Rumah
tersebut berbentuk bangsal dengan ukuran 9 x12 m dan biasanya juga dilengkapi
dengan tempat penyimpanan hasil panen dan barang-barang pusaka. Selain itu juga
dipenuhi dengan ukiran-ukiran dari kayu yang bermotifkan tumbuh-tumbuhan dan
binatang.
G.
Sistem kepercayaan
Hampir seluruh masyarakat suku Batin
menganut agama Islam. Namun sebagian dari mereka masih tetap memegang
kepercayaan animisme, sihir dan berhala. Contohnya saja pada wilayah Serampas
yang diketahui merupakan tempat tinggal dari orang-orang yang memiliki sihir.
Didaerah tersebut ditemukan dua makam sakral dari dua wanita legenda yaitu Si
Mata Empat dan Si Pahit Lidah. Kedua wanita ini dipercaya mewariskan kemampuan
sihir atau supranatural mereka pada suku Batin.
H.
Mata Pencaharian
Berikut 5 mata pencaharian utama
suku Batin:
1. Bertani
2. Berkebun
3. Mengumpulkan
hasil hutan
4. Mendulang
emas
5. Nelayan
Suku Batin bercocok tanam di ladang
yang disebut dengan umo talang. Umo talang merupakan ladang yang dibuat di
dalam hutan besar dan jauh dari pedesaan. Umo talang tidak terletak di
pinggiran sungai. Mereka menanami padi, palawija, karet dan kopi, di samping
itu juga ditanami tanaman selingan. Lalu ladang yang sudah ditanami ditinggalkan.
Setelah itu ladang mereka akan tumbuh dan hidup berbagai macam tanaman keras.
2.2 Suku Kaili
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang
secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi
Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten
Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi,
dan Gunung Raranggonau. Mereka
juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten
Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten
Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini
yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di
Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.
Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan
menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.
Upacara Suku Kaili
Ritual
Pengobatan dengan Injak Bara Api
Untuk mengusir roh-roh jahat, masyarakat Sulawesi Tengah kerap menggelar ritual balia tampilangi dengan menginjak api
Untuk mengusir roh-roh jahat, masyarakat Sulawesi Tengah kerap menggelar ritual balia tampilangi dengan menginjak api
Ada beberapa
pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya
menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon
dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini,
terutama di tepiSungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman
dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai
sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke
Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan disana ada
sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian
juga akan surut pada saat air laut surut. Menurut cerita (tutura), dahulu kala,
di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh
menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan
yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu.
a. Bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang
masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara
kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yang berbeda satu
dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca,
yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti
"tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan
bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa
para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara,
bahasa Ledo yang dipakai di daerah Kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah
terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis danbahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang
masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise,
Lasoani, Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi
(Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro, Tovale
dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi dan Pandere), bahasa Edo
(Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa
Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso). Uniknya, semua kata
dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
b. Sosial Budaya
Sebagaimana
suku-suku lainnya di wilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat
istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki
Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan
sanksi dalam hukum adat. Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan
pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada
upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada
upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara
penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit);
pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat
seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya
agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara
upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga
upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama)
dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya
berdasarkan ajaran agama Islam. Selain itu terdapat alat musik kaili. Beberapa
instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain: Kakula
(disebut juga gulintang, sejenis gamelan pentatonis), Lalove (serunai),
nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan
datar/kecil), goo (gong), suli (suling).
Salah satu
kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan
para wanita didaerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini
dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe, tetapi oleh masyarakat umum
sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe ini pun mempunyai
nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau
Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna
alam, seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah
betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Di daerah Kulawi
masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu
yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai
oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sebelum masuknya
agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan
kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan
(Buke/Buriro) dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah
kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal
dari Minangkabau bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah
Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili,
Abdul Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat
sering melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada
umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang
dibawah pengawasan Pemerintah Daerah. Hubungan kekerabatan masyarakat suku
Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian,
perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong
royong).
2.3 Suku Kulawi
Kulawi terletak di
pegunungan bagian selatan 17 km dari Palu. Yang dikenal dengan budayanya yang
unik. Kulawi merupakan kawasan pegunungan yang dikelilingi oleh ladang padi,
sayuran dan cengkeh. Masyarakat beragama Kristen dengan Kulawi sebagai
pusatnya. Bala keselamatan menyebar di bagian timur Indonesia termasuk di
Kulawi dan mereka memiliki gereja dan rumah sakit. Akan tetapi budaya
tradisional tetap berakar kokoh di masyarakat. Dan festival dilaksanakan
menurut tradisi lama. Pakaian wanita Kulawi cukup menarik yang dipakai ketika
upacara atau bergereja di hari Minggu. Disana terdapat penginapan untuk
menginap milik Pemerintah. Musik Bambu-Orkestra Tradisional merupakan
kebanggaan masyarakat dataran Lindu, Kulawi dan Poso. Suku-suku tersebut
berdiam di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah sebagai bagian dari khasanah
kebudayaan yang saat ini masih bertahan.
Tahun 1905 di Bulu
Momi terjadi perang antara masyarakat Kulawi melawan kolonial Belanda dibawah
pimpinan seorang pahlawan Kulawi yaitu Towualangi yang juga disebut
Taentorengke. Ketika perang berlangsung, pada saat itu pula kolonial Belanda
mulai berkuasa di Kulawi untuk menjadikan Kulawi sebagai daerah kerajaan, maka
pada tahun 1906 Kolonial Belanda mengangkat Towualangi menjadi raja Kulawi yang
pertama. Dan oleh kolonial Belanda wilayah dataran Lindu masuk kedalam wilayah
administrasi Kerajaan Kulawi. Sejarah menunjukkan bahwa pada mulanya penduduk
Lindu terdiri atas 7 pemukiman yang disebut Pitu Ngata. Dan untuk mengatur
tatanan hidup masyarakat Pitu Ngata itu, ada sebuah lembaga yang disebut
Maradika Ngata yang terdiri dari empat orang lembaga dengan sebutan 1. Jogugu,
2. Kapita, 3. Pabisara dan 4. Galara. Keempat Lembaga ini berfungsi sebagai
Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Ketika kolonial
Belanda berkuasa di Kulawi, maka pada tahun 1908 dataran Lindu yang terdiri
dari Pitu Ngata diresetlement menjadi 3 pemukiman yaitu menjadikan :
1. Penduduk
yang bermukim di Langko dan Wongkodono dikumpulkan menjadi satu di Langko.
2. Penduduk
yang bermukim di Olu, Luo, Palili dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di
Tomado.
3. Penduduk
yang bermukim di Paku Anca, dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Anca.
Untuk Mengatur
tempat pemukiman baru tersebut, maka pemerintah kolonial Belanda menunjuk
Lakese menjadi Kepala Kampung yang pertama di tiga tempat pemukiman baru itu,
dengan tugas pokok yaitu: membangun rumah tinggal penduduk di tempat pemukiman
yang baru dan membuka areal persawahan penduduk di sekitar wilayah Langko.
Sesudah penunjukan kepala kampung yang pertama Lakese, sesuai tuntutan
perkembangan dari ketiga wilayah pemukiman tersebut, berdasarkan perencanaan
pemerintah kolonial Belanda maka pemukiman baru menjadi 3 desa, yaitu desa
Langko, Tomado dan Anca, sebagaimana yang ada sampai sekarang ini.
Pada tahun 1960
sesuai dengan perkembangan penduduk di kecamatan Kulawi, sebagian penduduk desa
Lonca dan Winatu kecamatan Kulawi diresetlemen ke wilayah bagian selatan desa
Langko yang disebut Puroo. Atas kebijakan pemerintah kecamatan Kulawi pada
waktu itu, sehingga memicu berbagai reaksi keras dari masyarakat Lindu karena
merasa integritas wilayahnya terganggu. Masalah yang memicu keadaan pada waktu
itu terjadi penembakan hewan kerbau dan sapi secara brutal yang dilakukan oleh
Londora Kodu, mantan Tentara KNIL sebagai pejabat kepala kampung Langko, yang
ditempatkan oleh pemerintah kecamatan Kulawi yang dijabat oleh Ibrahim Bandu
B.A.
Akibat masalah
tersebut diatas, maka masyarakat 3 desa itu semakin sulit dikendalikan oleh
pemerintah kecamatan Kulawi sehingga masyarakat Lindu diembargo perekonomiannya
oleh pemerintah kecamatan Kulawi selama 3 bulan. Akibat embargo tersebut,
masyarakat Lindu mengeluarkan ancaman untuk bergabung dengan kecamatan Sigi
Biromaru. Ancaman masyarakat Lindu ditanggapi dengan serius pemerintah
kecamatan Kulawi dengan mencabut kembali sanksi ekonomi tersebut. Setelah
keadaaan masyarakat Lindu menjadi tenang, mulai saat itu pula desa Puroo sudah
menjadi satu kesatuan wilayah dataran Lindu sehingga sampai saat ini, desa-desa
dataran Lindu menjadi empat desa terdiri dari : Desa Puroo, Langko, Tomado dan
Anca yang disingkat dengan PLTA. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan
ketertiban masyarakat adat Lindu, kepala desa dibantu oleh lembaga adat desa.
Dan diatas lembaga masing-masing desa dibentuk Lembaga Masyarakat Adat Dataran
Lindu.
Masyarakat adat
Lindu telah mengenal pembagian zona pemanfaatan dan perlindungan yang
ditetapkan oleh nenek moyang mereka yaitu;
1) Suaka Ngata.
Suaka Ngata adalah
keseluruhan wilayah adat yang dibatasi puncak bulu/gunung yang disebut diatas.
2) Suaka Ntodea.
Suaka Ntodea
adalah wilayah pemanfaatan yang dapat dikonversi menjadi sawah atau tempat
pemukiman. Hak pemanfaatan di Suaka Ntodea dibatasi oleh hak-hak perorangan
(privat individual), seperti Ombo dan ketentuan lainnya, misalnya larangan
menebang pohon enau.
Lahirnya hak
perorangan (privat individual) dimulai ketika seseorang membuka Pangale (hutan
perawan) untuk dijadikan ladang. Dahulu masyarakat Lindu masih menggunakan
sistim perladangan berotasi. Masyarakat mengelolah lahan selama dua atau tiga
musim, kemudian diistirahatkan dan membuka ladang di tempat lain, misalnya
membuka hutan perawan yang baru atau mengolah ladang yang telah diistirahatkan.
Ladang yang diistirahatkan disebut dengan Ngura. Jika seseorang membuka pangale
dan menjadikan ladang, tetapi orang itu mengurunkan pengolahannya karena
sesuatu pertimbangan, maka Ladang ini sebut Taluboo. Namun tanah itu sudah
merupakan milik si pembuka Pangale tersebut.
3) Suaka Nu Maradika.
Suaka Nu Maradika
atau diberi nama lain yaitu Lambara adalah tempat perburuan dan melepaskan
hewan ternak kerbau. Dan terdapat beberapa lambara Nu Maradika, seperti di
Walatana (dekat Langko), Bulu Jara (dekat Tomado), Tongombone (dekat Olu), Kana
(dekat Luo/Palili), Bamba (dekat Paku), Malapi (dekat Anca), dan Keratambe
(dekat Tomado).
4) Suaka Nuwiata.
Wiata dalam bahasa
Lindu berarti roh makhluk yang sudah meninggal atau makhluk “halus”. Di
kalangan orang Lindu yang masih memegang teguh tradisinya terdapat kepercayaan
kuat yang meyakini bahwa roh orang yang sudah meninggal dunia sebenarnya
mendiami daerah-daerah tertentu. Roh itu pada waktu-waktu khusus datang ke
tempat sanak keluarganya yang masih hidup. Misalnya pada saat upacara adat
panen.
Dalam tradisi
orang Lindu, Suaka Nu Wiata adalah wilayah konservasi yang mutlak. Di tempat
ini, seseorang tidak dibolehkan masuk apalagi sampai melakukan kegiatan
menebang kayu atau kegiatan yang sifatnya merusak hutan. Pelanggaran terhadap
ketentuan ini akan memperoleh sanksi adat yang Suaka Nu Wiata tidak hanya terletak
di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk, tetapi juga terdapat di tempat
yang dekat dengan perkampungan. Sehingga di tepi jalan antara desa Langko,
Tomado dan Anca terdapat hutan yang cukup lebat. Hutan-hutan ini terletak jauh
dari tapal batas Taman Nasional yang ditetapkan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar