Kamis, 19 Mei 2016

AGAMA LOKAL PA B 4





"Agama-Agama Lokal"

Dosen pembimbing: Siti Nadroh, MA


   Disusun Oleh:
      
Muchammad Edy Irawan       11140321000013
Muhammad Irfan Maulana     11140321000061
Siti Syarah                               11140321000045





JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATUGHHGLLAH
JAKARTA 2016












BAB I

PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang Masalah
            Keberagaman suku bangsa dan agama di Indonesia adalah sumber kekayaanyang tidak ternilai harganya. Sebelum masuknya agama-agama besar ke Indonesia ternyata di Indonesia sendiri telah ada agama yang menjadi nilai luhur yang di pedomani dan di ikuti oleh para pengikutnya dan terbukti mampu mendorong pengikutnya menuju kehidupan yang lebih baik dan ternyata juga ajarannya mampu menggiring para pengikutnya mengikuti perkembangan jaman sehingga para pengikutnya mampu hidup dan bersaing secara sosial dan ekonomi dengan para pemeluk agama besar lainnya. Indonesia adalah sebuah negara yang sangat kaya akan keberadaan suku bangsa. Secara horizontal dalam struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan agama, adat dan perbedaan kedaerahan (Nasikun, 1993). Salah satu unsur dari keberagaman bangsa Indonesia adalah keberagaman keagamaan.
            Aliran kepercayaan merupakan suatu ajaran pandangan hidup berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak bersandarkan sepenuhnya kepada ajaran agama-agama yang ada. Dengan kata lain, dalam kehidupan moralnya maupun dalam rangka "menyembah kepada Tuhan" penganut paham "aliran”, dan salah satunya adalah agama lokal sunda wiwitan.
            Untuk itu, pemakalah mengajak pembaca untuk menyisir sejarah dan asal-usul kepercayaan suku-suku local suku bati, suku kaili, dan suku kulawi yang telah berkembang di Indonesia.





BAB II

PEMBHASAN

2.1 Suku Batin

            Mengenal Sejarah dan Kebudayaan Suku Batin. Suku Batin merupakan salah satu suku Melayu yang berasal dari provinsi Jambi di bagian pedalaman pulau Sumatera, Indonesia. Berasal dari sebelah barat pegunungan Bukit Barisan (Sumatera Barat). Mereka menggunakan tutur bahasa Melayu dengan dialek Jambi. Tetapi mempunyai logat seperti bahasa Minang. Kebudayaan orang Batin merupakan perpaduan unsur-unsur kebudayaan Minangkabau dan Melayu Jambi. orang Batin suka hidup berpindah-pindah dan berjiwa gotong royong.


                                                               
                                                              Upacara Suku Batin

Upacara Besale merupakan sebuah ritual upacara pengobatan berupa rangkaian tarian yang mengunakan totem berupa rumah-rumahan yang dibuat dari daun pepohonan hutan. tujuan dari ritual ini adalah untuk mengundang roh para leluhur agar bisa memberikan pengobatan terhadap keturunannya yang menderita suatu penyakit. ritual ini dilakukan oleh komunitas orang batin 


A. Asal usul
            Terdapat dua pendapat yang mengungkapkan mengenai asal usul dari suku Batin, yaitu ada yang mengatakan berasal dari suku Kerinici.
·         Pendapat pertama
            Pendapat pertama didasarkan pada cerita rakyat setempat, nenek moyang orang Batin adalah suku bangsa Kerinci yang pindah dari kaki Gunung Kerinci ke daerah tempat tinggal mereka saat ini.
·         Pendapat kedua
            Pendapat lain dari suku Minangkabau yang didasarkan pada beberapa hal, di antaranya adalah dari segi aksen, logat dan kemiripan kata dalam bahasa ketiga suku tersebut. Masyarakat Batin termasuk dalam ketegori proto-Melayu. Kebudayaan Minangkabau sangat mempengaruhi suku Kerinci ke daerah tempat tinggal mereka. Kebudayaan Minangkabau yang sangat mempengaruhi suku Kerinci tersebut, juga terlihat pada kehidupan orang Batin.
B. Wilayah pemukiman
            Suku Batin mendiami sekitar Pegunungan Bukit Barisan, Kabupaten Sarolangun Bangko dan Bungo Tebo, Propinsi Jambi. Wilayahnya meliputi:
1.   Kecamatan Jangkat
2.   Muara Siau
3.   Bangko
4.   Tabir
5.   Muara Bungo.
            Masyarakat Batin mulai menempati tempat-tempat tersebut diperkirakan sekitar abad pertama Masehi.
C. Bahasa
            Dalam berbahasa suku Batin termasuk bagian dari bahasa Melayu Jambi, tetapi dialek bahasa Batin banyak dipengaruhi oleh bahasa Minangkabau.
D. Sistem kekerabatan
            Sistem kekerabatan orang Batin adalah matrilineal (garis keturunan ditarik dari pihak ibu). Dalam kehidupan sehari-hari, orang Batin lebih dekat dengan kerabat pihak ibu daripada kerabat pihak ayah. Tetapi laki-laki tetap berperan sebagai kepala keluarga dalam rumah tangganya. Di samping sistem pendidikan umum yang dijalankan di sekolah-sekolah, juga terdapat pendidikan dari madrasah-madrasah.
E. Sistem pemerintahan
            Untuk sistem pemerintahan, suku Batin berawal dari sebuah dusun yang dihuni oleh sejumlah keluarga luas yang disebut piak. Setiap piak dikepalai oleh seorang ninik mamak. Pemimpin dusun yang bergelar rio diangkat berdasarkan hasil musyawarah dari seluruh ninik mamak. Dalam menjalankan kepemimpinannya, rio didampingi oleh para ninik mamak. Dengan demikian, segala keputusan rio haruslah diambil dengan persetujuan para ninik mamak dari piak yang ada di dusun tersebut.
F. Rumah adat
            Bangunan tempat tinggal atau rumah adat suku Batin disebut Kajang Lako. Persiapan pembangunan sebuah rumah baru dimulai pada saat lahirnya seorang puteri dalam keluarga tersebut. Rumah tersebut berbentuk bangsal dengan ukuran 9 x12 m dan biasanya juga dilengkapi dengan tempat penyimpanan hasil panen dan barang-barang pusaka. Selain itu juga dipenuhi dengan ukiran-ukiran dari kayu yang bermotifkan tumbuh-tumbuhan dan binatang.

G. Sistem kepercayaan
            Hampir seluruh masyarakat suku Batin menganut agama Islam. Namun sebagian dari mereka masih tetap memegang kepercayaan animisme, sihir dan berhala. Contohnya saja pada wilayah Serampas yang diketahui merupakan tempat tinggal dari orang-orang yang memiliki sihir. Didaerah tersebut ditemukan dua makam sakral dari dua wanita legenda yaitu Si Mata Empat dan Si Pahit Lidah. Kedua wanita ini dipercaya mewariskan kemampuan sihir atau supranatural mereka pada suku Batin.
H. Mata Pencaharian
            Berikut 5 mata pencaharian utama suku Batin:
1.   Bertani
2.   Berkebun
3.   Mengumpulkan hasil hutan
4.   Mendulang emas
5.   Nelayan
            Suku Batin bercocok tanam di ladang yang disebut dengan umo talang. Umo talang merupakan ladang yang dibuat di dalam hutan besar dan jauh dari pedesaan. Umo talang tidak terletak di pinggiran sungai. Mereka menanami padi, palawija, karet dan kopi, di samping itu juga ditanami tanaman selingan. Lalu ladang yang sudah ditanami ditinggalkan. Setelah itu ladang mereka akan tumbuh dan hidup berbagai macam tanaman keras.

2.2 Suku Kaili
            Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten DonggalaKabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung GawaliseGunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-MoutongKabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso. Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.
            



                                                                   Upacara Suku Kaili
                                                  Ritual Pengobatan dengan Injak Bara Api
              Untuk mengusir roh-roh jahat, masyarakat Sulawesi Tengah kerap menggelar ritual balia                                                           tampilangi dengan menginjak api



      Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepiSungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan disana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut. Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu.
a.       Bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yang berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah Kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis danbahasa Melayu.
            Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro, Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya,  Sibovi dan Pandere), bahasa Edo (Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso). Uniknya, semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
b.      Sosial Budaya
            Sebagaimana suku-suku lainnya di wilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat. Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
            Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam. Selain itu terdapat alat musik kaili. Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain: Kakula (disebut juga gulintang, sejenis gamelan pentatonis), Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo (gong), suli (suling).
            Salah satu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe, tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe ini pun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam, seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
            Di daerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
            Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro) dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerintah Daerah. Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).
2.3 Suku Kulawi
            Kulawi terletak di pegunungan bagian selatan 17 km dari Palu. Yang dikenal dengan budayanya yang unik. Kulawi merupakan kawasan pegunungan yang dikelilingi oleh ladang padi, sayuran dan cengkeh. Masyarakat beragama Kristen dengan Kulawi sebagai pusatnya. Bala keselamatan menyebar di bagian timur Indonesia termasuk di Kulawi dan mereka memiliki gereja dan rumah sakit. Akan tetapi budaya tradisional tetap berakar kokoh di masyarakat. Dan festival dilaksanakan menurut tradisi lama. Pakaian wanita Kulawi cukup menarik yang dipakai ketika upacara atau bergereja di hari Minggu. Disana terdapat penginapan untuk menginap milik Pemerintah. Musik Bambu-Orkestra Tradisional merupakan kebanggaan masyarakat dataran Lindu, Kulawi dan Poso. Suku-suku tersebut berdiam di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah sebagai bagian dari khasanah kebudayaan yang saat ini masih bertahan.
            Tahun 1905 di Bulu Momi terjadi perang antara masyarakat Kulawi melawan kolonial Belanda dibawah pimpinan seorang pahlawan Kulawi yaitu Towualangi yang juga disebut Taentorengke. Ketika perang berlangsung, pada saat itu pula kolonial Belanda mulai berkuasa di Kulawi untuk menjadikan Kulawi sebagai daerah kerajaan, maka pada tahun 1906 Kolonial Belanda mengangkat Towualangi menjadi raja Kulawi yang pertama. Dan oleh kolonial Belanda wilayah dataran Lindu masuk kedalam wilayah administrasi Kerajaan Kulawi. Sejarah menunjukkan bahwa pada mulanya penduduk Lindu terdiri atas 7 pemukiman yang disebut Pitu Ngata. Dan untuk mengatur tatanan hidup masyarakat Pitu Ngata itu, ada sebuah lembaga yang disebut Maradika Ngata yang terdiri dari empat orang lembaga dengan sebutan 1. Jogugu, 2. Kapita, 3. Pabisara dan 4. Galara. Keempat Lembaga ini berfungsi sebagai Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
            Ketika kolonial Belanda berkuasa di Kulawi, maka pada tahun 1908 dataran Lindu yang terdiri dari Pitu Ngata diresetlement menjadi 3 pemukiman yaitu menjadikan :
1.    Penduduk yang bermukim di Langko dan Wongkodono dikumpulkan menjadi satu di Langko.
2.    Penduduk yang bermukim di Olu, Luo, Palili dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Tomado.
3.    Penduduk yang bermukim di Paku Anca, dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Anca.
            Untuk Mengatur tempat pemukiman baru tersebut, maka pemerintah kolonial Belanda menunjuk Lakese menjadi Kepala Kampung yang pertama di tiga tempat pemukiman baru itu, dengan tugas pokok yaitu: membangun rumah tinggal penduduk di tempat pemukiman yang baru dan membuka areal persawahan penduduk di sekitar wilayah Langko. Sesudah penunjukan kepala kampung yang pertama Lakese, sesuai tuntutan perkembangan dari ketiga wilayah pemukiman tersebut, berdasarkan perencanaan pemerintah kolonial Belanda maka pemukiman baru menjadi 3 desa, yaitu desa Langko, Tomado dan Anca, sebagaimana yang ada sampai sekarang ini.
            Pada tahun 1960 sesuai dengan perkembangan penduduk di kecamatan Kulawi, sebagian penduduk desa Lonca dan Winatu kecamatan Kulawi diresetlemen ke wilayah bagian selatan desa Langko yang disebut Puroo. Atas kebijakan pemerintah kecamatan Kulawi pada waktu itu, sehingga memicu berbagai reaksi keras dari masyarakat Lindu karena merasa integritas wilayahnya terganggu. Masalah yang memicu keadaan pada waktu itu terjadi penembakan hewan kerbau dan sapi secara brutal yang dilakukan oleh Londora Kodu, mantan Tentara KNIL sebagai pejabat kepala kampung Langko, yang ditempatkan oleh pemerintah kecamatan Kulawi yang dijabat oleh Ibrahim Bandu B.A.
            Akibat masalah tersebut diatas, maka masyarakat 3 desa itu semakin sulit dikendalikan oleh pemerintah kecamatan Kulawi sehingga masyarakat Lindu diembargo perekonomiannya oleh pemerintah kecamatan Kulawi selama 3 bulan. Akibat embargo tersebut, masyarakat Lindu mengeluarkan ancaman untuk bergabung dengan kecamatan Sigi Biromaru. Ancaman masyarakat Lindu ditanggapi dengan serius pemerintah kecamatan Kulawi dengan mencabut kembali sanksi ekonomi tersebut. Setelah keadaaan masyarakat Lindu menjadi tenang, mulai saat itu pula desa Puroo sudah menjadi satu kesatuan wilayah dataran Lindu sehingga sampai saat ini, desa-desa dataran Lindu menjadi empat desa terdiri dari : Desa Puroo, Langko, Tomado dan Anca yang disingkat dengan PLTA. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan ketertiban masyarakat adat Lindu, kepala desa dibantu oleh lembaga adat desa. Dan diatas lembaga masing-masing desa dibentuk Lembaga Masyarakat Adat Dataran Lindu.
            Masyarakat adat Lindu telah mengenal pembagian zona pemanfaatan dan perlindungan yang ditetapkan oleh nenek moyang mereka yaitu;

1)      Suaka Ngata.
            Suaka Ngata adalah keseluruhan wilayah adat yang dibatasi puncak bulu/gunung yang disebut diatas.
2)      Suaka Ntodea.
            Suaka Ntodea adalah wilayah pemanfaatan yang dapat dikonversi menjadi sawah atau tempat pemukiman. Hak pemanfaatan di Suaka Ntodea dibatasi oleh hak-hak perorangan (privat individual), seperti Ombo dan ketentuan lainnya, misalnya larangan menebang pohon enau.
            Lahirnya hak perorangan (privat individual) dimulai ketika seseorang membuka Pangale (hutan perawan) untuk dijadikan ladang. Dahulu masyarakat Lindu masih menggunakan sistim perladangan berotasi. Masyarakat mengelolah lahan selama dua atau tiga musim, kemudian diistirahatkan dan membuka ladang di tempat lain, misalnya membuka hutan perawan yang baru atau mengolah ladang yang telah diistirahatkan. Ladang yang diistirahatkan disebut dengan Ngura. Jika seseorang membuka pangale dan menjadikan ladang, tetapi orang itu mengurunkan pengolahannya karena sesuatu pertimbangan, maka Ladang ini sebut Taluboo. Namun tanah itu sudah merupakan milik si pembuka Pangale tersebut.
3)      Suaka Nu Maradika.
            Suaka Nu Maradika atau diberi nama lain yaitu Lambara adalah tempat perburuan dan melepaskan hewan ternak kerbau. Dan terdapat beberapa lambara Nu Maradika, seperti di Walatana (dekat Langko), Bulu Jara (dekat Tomado), Tongombone (dekat Olu), Kana (dekat Luo/Palili), Bamba (dekat Paku), Malapi (dekat Anca), dan Keratambe (dekat Tomado).
4)      Suaka Nuwiata.
            Wiata dalam bahasa Lindu berarti roh makhluk yang sudah meninggal atau makhluk “halus”. Di kalangan orang Lindu yang masih memegang teguh tradisinya terdapat kepercayaan kuat yang meyakini bahwa roh orang yang sudah meninggal dunia sebenarnya mendiami daerah-daerah tertentu. Roh itu pada waktu-waktu khusus datang ke tempat sanak keluarganya yang masih hidup. Misalnya pada saat upacara adat panen.
            Dalam tradisi orang Lindu, Suaka Nu Wiata adalah wilayah konservasi yang mutlak. Di tempat ini, seseorang tidak dibolehkan masuk apalagi sampai melakukan kegiatan menebang kayu atau kegiatan yang sifatnya merusak hutan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan memperoleh sanksi adat yang Suaka Nu Wiata tidak hanya terletak di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk, tetapi juga terdapat di tempat yang dekat dengan perkampungan. Sehingga di tepi jalan antara desa Langko, Tomado dan Anca terdapat hutan yang cukup lebat. Hutan-hutan ini terletak jauh dari tapal batas Taman Nasional yang ditetapkan pemerintah.
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar