Kamis, 16 Juni 2016

MEDIA DAN PENGETAHUAN

MEDIA DAN PENGETAHUAN  


    DOSEN: SITI NADROH, MA

     Muhammad Irfan Maulana 
                Siti Syarah

 

Indonesia merupakan negara kesatuan yang di pilari oleh UUD 1945, Pancasila, Bhineka tunggal ika, dan NKRI merupakn negara darul ahdi atau negara yang dihuni oleh ragam suku, bahasa, dan kebudayaan. kebhinekaan menjadi media harmoni dalam sosial di masyarakat indonesia, untuk itu berikut jendela suku di indonesia.

SUKU BATIN

 

  e-book biru ini mengambarkan keadaan sosial dan budaya yang dilihat dari sisi antropologi


 




 
 Analisi ekonomi penduduk di Suku Batin

 

 Perkembangan perubahan budaya masyarakat pada Suku Batin, Jambi.

 SUKU BATAK TOBA 

 
 Pemerintahan dan masyarakar berdialog tentang budaya lokal, dengan tujuan menjaga kearifan budaya asli agar tidak tergerus jaman.



 
 Di E-jurnal ini, disinggung tentang ragam keluhan masyarakat Suku Batak Toba



 
 Music tradisional dari suku Batak Toba, dijelaskan lebih detail di dalam e-jurnal ini.


 SUKU KULAWI


 
 Tuak dalam masyarakat Dayak Toba yang termasuk dalam aspek sosial dan budaya


 

 kali ini, pembaca seakan diajak bila membaca jurnal ini, urgensi-urgensi komunikasi dengan dasar pendididkan islam paska konflik masyarakat yang orientasinya kepada pada sikap sosial yang harmoni


 



POWER POINT SUNDA WIWITAN


 

Kamis, 19 Mei 2016

AGAMA LOKAL PA B 4





"Agama-Agama Lokal"

Dosen pembimbing: Siti Nadroh, MA


   Disusun Oleh:
      
Muchammad Edy Irawan       11140321000013
Muhammad Irfan Maulana     11140321000061
Siti Syarah                               11140321000045





JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATUGHHGLLAH
JAKARTA 2016












BAB I

PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang Masalah
            Keberagaman suku bangsa dan agama di Indonesia adalah sumber kekayaanyang tidak ternilai harganya. Sebelum masuknya agama-agama besar ke Indonesia ternyata di Indonesia sendiri telah ada agama yang menjadi nilai luhur yang di pedomani dan di ikuti oleh para pengikutnya dan terbukti mampu mendorong pengikutnya menuju kehidupan yang lebih baik dan ternyata juga ajarannya mampu menggiring para pengikutnya mengikuti perkembangan jaman sehingga para pengikutnya mampu hidup dan bersaing secara sosial dan ekonomi dengan para pemeluk agama besar lainnya. Indonesia adalah sebuah negara yang sangat kaya akan keberadaan suku bangsa. Secara horizontal dalam struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan agama, adat dan perbedaan kedaerahan (Nasikun, 1993). Salah satu unsur dari keberagaman bangsa Indonesia adalah keberagaman keagamaan.
            Aliran kepercayaan merupakan suatu ajaran pandangan hidup berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak bersandarkan sepenuhnya kepada ajaran agama-agama yang ada. Dengan kata lain, dalam kehidupan moralnya maupun dalam rangka "menyembah kepada Tuhan" penganut paham "aliran”, dan salah satunya adalah agama lokal sunda wiwitan.
            Untuk itu, pemakalah mengajak pembaca untuk menyisir sejarah dan asal-usul kepercayaan suku-suku local suku bati, suku kaili, dan suku kulawi yang telah berkembang di Indonesia.



Kamis, 17 Maret 2016

AGAMA SUNDA WIWITAN

AGAMA LOKAL NUSANTARA

  Agama Sunda Wiwitan

Isu pengesahan agama-agama lain selain enam agama yang diakui kembali mencuat menyusul pernyataan Staf Khusus Menteri Agama Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Muhammad Machasin. Dia mengabarkan bahwa Kemenag saat ini tengah menginventarisasi keberadaan agama-agama lokal di Indonesia, termasuk Sunda Wiwitan, di luar enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu) yang diakui pemerintah,.
Setelah inventarisasi, diharapkan terkumpullah data-data yang kelak diperlukan untuk menelaah kemungkinan pengembangan direktorat jenderal tersendiri di bawah Kemenag. Wadah birokrasi baru itu bertujuan mulia, yakni untuk melayani para pemeluk agama-agama lokal itu, yang selama ini terkatung-katung tanpa kepastian dalam pelayanannya.
Lantas, seperti apa agama Sunda Wiwitan yang dimaksud. Berikut adalah sekilas tentang agama tersebut yang dikutip dari berbagai sumber.
Sejarah agama Sunda Wiwitan
Berbagai literatur menyebutkan, Agama Sunda adalah kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.
Namun, Abdul Rozak, peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung dan masih banyak lagi komunitas masyarakat memeluk agama tersebut.
Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Agama Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.
Madrais, yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais, adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur.
Madrais yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis.
Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, tetapi kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris.
Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Sunda.
Dalam ajaran dan ritual, Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taun yang diperingati secara besar-besaran.
Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860.
Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang).
Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan kembali.
Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan Maulid serta semua Nabi yang diturunkan ke bumi.
Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan.
Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Ajaran Sunda Wiwitan
Agama Sunda Wiwitan diklaim sebagai agama asli Indonesia. Maknawiwitan dalam Sunda Wiwitan adalah ‘permulaan’ atau ‘awal’. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri antara lain sistem keyakinan tradisi Sunda Lama sebelum datangnya agama-agama lain ke nusantara. Katasunda bukan hanya bermakna etnis Sunda, tetapi bermakna filosofis yang artinya damai atau cahaya.
Agama Sunda Wiwitan dinilai memiliki unsur monotheisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
  1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
  2.  Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
  3.  Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.
Tempat Suci
Tempat suci atau tempat pemujaan yang dianggap sakral atau keramat dalam Agama Sunda Wiwitan adalah Pamunjungan atau disebut Kabuyutan. Pamunjungan merupakan punden berundak yang biasanya terdapat di bukit dan di Pamunjungan ini biasanya terdapat Menhir, Arca, Batu Cengkuk, Batu Mangkok, Batu Pipih dan lain-lain.
Pamunjungan atau Kabuyutan banyak sekali di Tatar Sunda seperti Balay Pamujan Genter Bumi, Situs Cengkuk, Gunung Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali dll. Di Bogor sendiri sebagi Pusat Nagara Sunda dan Pajajaran dahulu terdapat Banyak Pamunjungan beberapa diantaranya adalah Pamunjungan Rancamaya nama dahulunya adalah Pamunjungan Sanghyang Padungkukan yang disebut Bukit Badigul namun sayang saat ini Pamunjungan tersebut sudah tidak ada lagi, digantikan oleh Lapangan Golf.
Pada masanya Pamunjungan yang paling besar dan mewah adalah Pamunjungan Kihara Hyang yang berlokasi di Leuweung (hutan) Songgom, atau Balay Pamunjungan Mandala Parakan Jati yang saat ini lokasinya digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.
Dengan banyaknya Pamunjungan atau Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda membuktikan bahwa agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah Agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan, ini adalah jawaban kenapa di Sunda sangat jarang sekali diketemukan Candi.
Namun begitu, Hindu dan Budha berkembang baik di Sunda bahkan Raja Salaka Nagara juga Tarumanagara adalah seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda adalah Candi Cangkuang yang merupakan candi Hindu pemujaan Siwa dan Percandian Batujaya di Karawang yang merupakan kompleks bangunan stupa Buddha.